Pilihan dan keputusan yang diambil seorang
remaja sangat tergantung kepada kualitas dan kuantitas informasi yang mereka
miliki, serta ketersediaan pelayanan dan kebijakan yang spesifik untuk mereka,
baik formal maupun informal (Pachauri, 1997).
Sebagai langkah awal pencegahan, peningkatan
pengetahuan remaja mengenai kesehatan reproduksi harus ditunjang dengan materi
komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) yang tegas tentang penyebab dan
konsekuensi perilaku seksual, apa yang harus dilakukan dan dilengkapi dengan
informasi mengenai saranan pelayanan yang bersedia menolong seandainya telah
terjadi kehamilan yang tidak diinginkan atau tertular ISR/PMS. Hingga saat ini,
informasi tentang kesehatan reproduksi disebarluaskan dengan pesan-pesan yang
samar dan tidak fokus, terutama bila mengarah pada perilaku seksual (Iskandar,
1997).
Di segi pelayanan kesehatan, pelayanan
Kesehatan Ibu dan Anak serta Keluarga Berencana di Indonesia hanya dirancang
untuk perempuan yang telah menikah, tidak untuk remaja. Petugas kesehatan pun
belum dibekali dengan kete-rampilan untuk melayani kebutuhan kesehatan
reproduksi para remaja (Iskandar, 1997).
Jumlah fasilitas kesehatan reproduksi yang
menyeluruh untuk remaja sangat terbatas. Kalaupun ada, pemanfaatannya relatif
terbatas pada remaja dengan masalah kehamilan atau persalinan tidak
direncanakan. Keprihatinan akan jaminan kerahasiaan (privacy) atau kemampuan
membayar, dan kenyataan atau persepsi remaja terhadap sikap tidak senang yang
ditunjukkan oleh pihak petugas kesehatan, semakin membatasi akses pelayanan
lebih jauh, meski pelayanan itu ada. Di samping itu, terdapat pula hambatan
legal yang berkaitan dengan pemberian pelayanan dan informasi kepada kelompok
remaja (Outlook, 2000).
Karena kondisinya, remaja merupakan kelompok
sasaran pelayanan yang mengutamakan privacy dan confidentiality (Senderowitz,
1997a:10). Hal ini menjadi penyulit, mengingat sistem pelayanan kesehatan dasar
di Indonesia masih belum menempatkan kedua hal ini sebagai prioritas dalam
upaya perbaikan kualitas pelayanan yang berorientasi pada klien.
Dari survei yang sama juga didapatkan bahwa hanya 19,2% remaja yang menyadari peningkatan risiko untuk tertular PMS bila memiliki pasangan seksual lebih dari satu. 51% mengira bahwa mereka akan berisiko tertular HIV hanya bila berhubungan seks dengan pekerja seks komersial (PSK) (LDFEUI & NFPCB, 1999b:14).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar